Putsa, “Apelnya” Thailand
"ini sudah nasib saya. Harga putsa turun terus, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Anda lihat saja tanah di sini, semuanya pasir. Tidak ada lagi yang bisa tumbuh di sini,” kata Wansuchai pasrah, sambil menunjuk hamparan pasir putih di kebunnya.
Wansuchai adalah petani di Muang District, Rayong, Thailand
yang sudah tiga puluh tahun menanam putsa, sejenis bidara yang buahnya berkulit
tipis seperti apel. Letak kebunnya yang hanya 200 m dari laut teluk diam
membuat Wansuchai tidak bisa mengganti pohon buah ini dengan yang lain lantaran
tanahnya benar-benar seperti pasir di pantai. Yang bisa tumbuh di sana hanya putsa.
Putsa alias jujube (Zizyphus mauritania) yang harganya
dikeluhkan oleh Wansuchai ini sebenarnya istimewa. Buahnya yang berukuran
sedikit lebih besar daripada duku itu menggelantung bergerombol mirip anggur.
Hampir bisa dipastikan di setiap ketiak daun muncul buah. Warnanya hijau.
Sepintas dari jauh tampak seperti buah kedondong yang masih kecil.
Lebatnya buah putsa milik Wansuchai terlihat jelas dari
jalan tanah selebar 2 m di depan kebunnya.
Tiga Varietas
Hati-hatilah jika mau masuk ke dalamnya. Soalnya di
setiap ketiak daun, berdampingan dengan gerombolan buah, muncul duri-duri kecil
yang tajam. Kerepotan menghindani duri-duri itu bertambah lagi karena bentuk
tajuk putsa yang merumpun dan menjuntai sampai ke pasir.
“Setiap panen saya pasti tertusuk duri,” cerita sang
pemilik sambil tersenyum. Betapa tidak. Di kebun seluas 5 rai (4,25 ha) itu ia
memiliki 80 pohon putsa berusia lebih dari lima belas tahun dan 29 pohon yang berumur 3
tahun. Saking banyaknva pohon dewasa, seluruh kebun Wansuchai seakan dinaungi
tajuk tanaman yang diperkirakan berasal dari India ini. Pohon-pohon yang sudah
cukup umur itu buahnva muncul mulai dari pasir sampai ke pucuk-pucuk pohon.
Dan, di samping rombolan buah itu selalu muncul daun.
Steve Stanley melihat ada dua bentuk buah. Yang satu bulat lonjong
dan yang satu lagi u1at. Waktu mencicipi yang bu1at lonjong, rasanya mirip apel
malang. Terasa
segar di tenggorokan yang kering lantaran berair banyak, rasanya manis sedikit
asam dan renyah begitu digigit. Tapi begitu mencicipi yang bentuknya bulat,
rasanya hambar. Kandungan airnyapun sedikit.
Dari bentuk buah memang terlihat ada dua varietas yang berbeda.
“Yang bentuknya bulat lonjong namanya rhan (baca: bambe). Yang bundar namanya
putsa,” kata Wansuchai. Selain bentuk buah, perbedaan lainnya ialah bentuk daun
dan warna buah. Daun bonban ukurannya kecil dan tepi-tepinya bergerigi. Sedangkan
daun putsa panjang, tapi tepinya tidak bergerigi. Selain itu, warna kulit buah
bonban hijau muda agak kekuningan, sementara putsa hijau tua.
Menurut Montri Klakhai, petugas dari Eastern Regional
Agri. Ext. Office, Muang District, Rayong, sebenarnya ada tiga varietas putsa.
Varietas terakhir namanya Sithong dan biasa dipakai sebagai batang bawah. Warna
buah Sithong oranye. Rasanya sepat.
Bonban yang rasanya seperti apel malang
itu, menunut Heyne dalam Tumbuhan Berguna Indonesia, bisa dijumpai di
Ambon, Sulawesi, dan Bali. Bentuk dan ukuran
buah putsa yang tumbuh di Ambon sebesar telur
merpati. Kulitnya kuning setelah matang. Daging buahnya keras dan berair. Hanya
bedanya buah yang tumbuh di Ambon terasa sepat
dan tidak pernah manis. Heyne mengungkapkan, di Indonesia putsa dinamakan
bidara/widana.
Dipupuk seadanya
Di Thailand, putsa diperbanyak dengan teknik okulasi dan
cangkok. Khusus untuk tanaman tua, di atas 30 tahun, peremajaan dilakukan
dengan cana memangkas cabang yang sudah rapuh. Di bekas potongan itu kelak akan
tumbuh tunas-tunas baru.
Selain untuk pembibitan, Wansuchai memakai teknik
okulasi agar apel putsa dan bonban bisa benbuah di satu pohon. Sebuah teknik
yang banyak diterapkan para penangkan bibit di Indonesia pada pohon jambu air.
Menurut Wansuchai, putsa berbuah pertama kali pada umum
dua tahun dengan produksi 1 kg/pohon. Produktivitas tertinggi ialah 200
kg/pohon. Namun Wansuchai mengatakan, produksi maksimal itu tidak setiap tahun bisa
tercapai. “Tahun ini produksinya tinggi. Tahun depan rendah, kemudian tinggi
lagi,” paparnya. Ia menduga hal ini terjadi karena pemupukan yang tidak teratur.
Biasanya Wansuchai memupuk dua kali setahun. Pemupukan
pertama dengan kompos dilakukan setelah usal panen. Sedangkan pemupukan kedua,
NPK 13:13:21, diberikan setelah buah membesar. Dosis yang diberikan tidak
tetap, disesuaikan dengan jumlah pupuk yang bisa dibeli.
Perawatan lain yang dilakukan ialah penyiraman dua hari
sekali. Untuk menanggulangi serangan lalat buah, seminggu sekali ia menyemprotkan
insektisida sampai menjelang panen.
Putsa, “Apelnya” Thailand
Reviewed by Unknown
on
13.06
Rating:
Tidak ada komentar: